Monday 20 May 2013

Secuplik Kerajaan Tulangbawang

Kerajaan Tulangbawang Written By Budi Hatees on Kamis, 05 Agustus 2010 | 17.12 

 Setiap kabupaten/kota di Provinsi Lampung memiliki hikayat masing-masing yang tak terpisahkan antara satu dengan lainnya. Wajar bila pemerintah setempat kemudian merekayasa sejarah resmi untuk menonjolkan tanda-tanda domestik yang khas daerahnya. Kabupaten Tulangbawang merekaya sejarah Kerajaan Tulangbawang dengan membangun miniature istana kerajaan dalam sebuah komplek yang kini menjadi objek wisata sejarah. KABUPATEN Tulangbawang, sekitar dua jam perjalanan dari Kota Bandar Lampung ke arah Utara, punya sejarah gemilang di masa lalu. 

Kabupaten yang masyarakat merupakan masyarakat beradat Pepadun (di Lampung ada dua masyarakat adat, satunya lagi Saibatin), berasal dari satu garis keturunan yang menamai diri Megou Pak. Masyarakat ini merupakan sebuah keluarga luas, terdiri dari empat marga. Mereka hidup dalam sistem marga, memosisikan seorang kepala marga sebagai pemimpin yang disebut penyimbang. Semua masyarakat adat Lampung merupakan masyarakat marga. Penelitian arkeolog dari Badan Arkeologi Bandung di sejumlah situs sejarah menunjukkan, seluruh masyarakat Lampung berasal dari satu titik di kawasan kaki Gunung Pesagi. Mereka menyebar melalui way (sungai) yang berhulu di Gunung Pesagi dan berhilir di beberapa sungai di seluruh wilayah Lampung. 

 Perpindahan anggota keluarga dalam sistem marga terjadi karena sebuah tradisi yang menetapkan semua hak adat diwarisi oleh putera tertua dalam sistem partriarkhi, sehingga anak anak yang lebih muda (anak kedua dan seterusnya) dipastikan tidak sepenuhnya memiliki hak apalagi kedudukan tertentu di dalam adat. Dengan cara pindah ke daerah yang baru, mereka akan memiliki kedudukan dan tingkatan di dalam adat yang mereka bentuk sendiri ditempat yang baru. Perpindahan dan penyebaran itu tercatat dalam sejumlah literatur sejarah. Sebut saja hasil pembacaan Prof. Dr. Louis-Charles Damais terhadap prasasti Hujung Langit yang bertarikh 9 Margasira 919 Saka (997 Masehi), diuraikannza dalam bukunya, Epigrafi dan Sejarah Nusantara (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta, 1995, hh.26-45). 

Disebutkan bahwa Indarwati bergelar Putri Si Buay Bulan sampai ke salah satu sudut bantaran Way Tulangbawang, sebuah sungai yang kini berurat di nadi Kabupaten Tulangbawang. Ia merupakan leluhur pertama masyarakat Lampung beradat Pepadun yang mewariskan garis keturunan Megou Pak. Di masa pemerintahannya Kerajaan Tulangbawang berdiri megah, tersohor sebagai kawasan perdagangan bebas yang didatangi para pedagang dari luar negeri untuk mendapatkan rempah-rempah seperti lada kulit manis, dan emas (Lihat B.N. Teensma, “An Unkown Potugese Text on Sumatera from 1582″, BKI, dell 145, 1989.) Miniatur Kerajaan Sejarah awal Kerajaan Tulangbawang masih gelap, karena data dan fakta yang ada sangat sedikit. Kajian oleh para sejarawan juga belum banyak dilaksanakan. Tapi, kerajaan yang megah itu konon pernah berdiri di salah satu sudut bantaran Way Tulangbawang, diantara Menggala sampai Pagar Dewa. 

Kerajaan yang gemah ripah itu tegak begitu kokoh dalam ingatan semua masyarakat Lampung beradat Pepadun keturunan Megou Pak dan dalam khazanah foklor yang berkembang di daerah itu. Di tangan Bupati Tulangbawang Abdurrahman Sarbini, Kerajaan Tulangbawang adalah sepotong sejarah gemilang beradab-abad lalu yang bisa dibangkitkan kembali. Pada 24 September 2008 lalu, Abdurrahman Sarbini yang juga keturunan Megou Pak meletakkan batu pertama pembangunan meniatur Kerajaan Tulangbawang di Desa Cakat Nyenyek, Kecamatan Menggala. 

 Banyak kalangan meragukan proyek sejarah ini, bukan karena tidak yakin mampu mewujudkannya. Tapi, karena belum pernah ditemukan catatan sejarah yang merujuk pada bentuk fisik kerjaan itu. Namun, Pemerintah Kabupaten Tulangbawang bergeming dengan proyek sejarah itu. Bentuk fisik tak jadi soal, karena yang terpenting sejarah harus dipatri. Setelah melalui berbagai penelitian, langkah Abdurrahman Sarbini untuk mencari bentuk fisik kerajaan leluhurnya sampai ke sebuah museum di Belanda. Di tempat itu, sejarah Hindia Belanda masih tersimpan rapih, termasuk sejarah Kerajaan Tulangbawang. Kegelapan yang menyeliputi sejarah Kerajaan Tulangbawang perlahan-lahan mulai tersingkap. 

Berbagai literatur sejarah menunjukkan, Kerajaan Tulangbawang merupakan sebuah kerajaan yang berdiri pada abad XIV. “Bangunan istana Kerajaan Tulangbawang mirip dengan Candi Borobudur. Kerajaan ini dibangun kembali oleh Belanda,” kata Abdurrahman Sarbini. Sah-sah saja Pemerintah Kabupaten Tulangbawang merekayasa sejarah dan meredisain gambar istana Kerajaan Tulangbawang. Kekayaan warisan leluhur budaya itu mempertegas satu hal, bahwa budaya yang begitu kental dan mengakar dalam diri masyarakat mustahil terbentuk tanpa satu sistem pemerintahan yang kokoh dan pernah sangat masyur di zamannya. 

Pemerintahan yang bernama Kerajaan Tulangbawang. Tapi, sejarah mencatat, pada abad XIV candi yang merupakan warisan sejarah agama Hindu-Buddha, hampir tidak pernah ditemukan di seluruh wilayah Lampung. Jejak sejarah dari kuatnya pengaruh agama ini di wilayah Lampung berupa prasasti dari Datu (Raja) Sriwijaya bertarikh 608 Saka (686 Masehi) yang ditemukan di Desa Palas Pasemah, daerah Kabupaten Lampung Selatan. Ada juga situs Pugung Raharjo yang diperkirakan berasal dari masa tradisi megalitik (lihat Haris Sukendar Haris. 1979 dalam “Laporan Penelitian Kepurbakalaan Daerah Lampung”, Berita Penelitian Arkeologi No. 20. Jakarta: Proyek Penelitian dan Penggalian Purbakala.) Inilah fakta sejarah tentang Kerajaan Tulangbawang yang meragukan banyak kalangan. Polemik seputar sejarah ini tidak mengurungkan niat Pemerintah Kabupaten Tulangbawang. Kini, pembangunan miniatur Kerajaan Tulangbawang itu mulai berjalan. Disain bangunan kerajaan itu mirip dengan Candi Biaro Bahal III di Padang Lawas, atau mendekati bentuk bangunan Candi Dieng di Jawa Tengah atau mirip istana Kerajaan Singosari. 

Bangunan kerajaan berupa sebuah bangunan yang bagian atasnya tumpul. Catatan Sejarah yang Tercecer Catatan sejarah memang merekam, Kerajaan Tulangbawang santer ke seluruh dunia. Bahkan, utusan dari kerajaan itu pernah sampai ke China di zaman Dinasti Liang. Utusan yang hendak menjalin kerja sama perdagangan, karena masyarakatnya sangat membutuhkan barang-barang dari China seperti berbagai jenis keramik. Di dalam kitab sejarah Dinasti Liang dijelaskan, utusan kerajaan yang berada di pedalaman Pulau Andalas (Sumatra) itu menyebut kerajaan mereka sebagai To-Lang Po-Hwang. Menurut G. Ferrand, lafal To-Lang P’o-Hwang dalam dialek China dapat disamakan dengan Tulangbawang. Poerbatjaraka juga berpendapat, To-Lang P’o-Hwang yang disebut dalam sejarah Dinasti Liang merupakan sebuah kerajaan di daerah aliran Way Tulangbawang. Soal pelafalan To-Lang Po-Hwang ini memang sangat subyektif, karena catatan Dinasti Liang itu pun acap dipakai masyarakat Lampung keturunan Kerjaan Skala Bekhak di kaki Gunung Pesagi, kini wilayah Kabupaten Lampung Barat. T

o-Lang Po-Hwang malah diartikan sebagai “sebuah daerah bernama Lampung” dari kata Lappong (Lang Po-Hwang). Penafsiran atas catatan zaman Dinasti Liang itu menunjukkan, bahwa utusan-utusan yang datang dari sebuah kerajaan di Pulau Andalas disebut “sebuah daerah bernama Lamppong”. Meskipun begitu, para sejarawan lebih menerima pelafalan To-Lang Po-Hwang untuk menyebut Tulangbawang. Dalam kitab Dinasti Liang, soal utusan dari Kerajaan Tulangbawang ini hanya disinggung sekali. Para sejarawan berkeyakinan, setelah mengirim utusan ke China untuk menjalin kerja sama dagang, Kerajaan Tulangbawang hancur karena ditaklukkan oleh kerajaan lain (Sumadio, 1990: 79). Namun, bersamaan dengan hilangnya berita tentang Kerajaan Tulangbawang, muncul catatan sejarah tentang Kerajaan Sriwijaya yang disebut orang China sebagai Che-Li-P'o Chie. Ada dua asumsi atas situasi ini: 

Pertama, Kerajaan Tulangbawang merupakan cikal-bakal Kerajaan Sriwijaya karena keduanya sama-sama berdasarkan pada agama Hindu-Buddha. Kedua, Kerajaan Sriwijaya telah menaklukkan Kerajaan Tulangbawang dalam rangka memperluas teritorial kekuasaan atas jalur perdagangan di Selat Malaka dan Selat Sunda. Kedua asumsi ini sama-sama tidak kuat, karena tidak disertai bukti fisik. 

Yang jelas, setelah nama Kerajaan Tulangbawang tidak pernah lagi terdengar, kabar tentang Kerajaan Sriwijaya menjadi santer ke seantero jagad. Sejak itu tidak ada lagi catatan sejarah yang merekam keberadaan Kerajaan Tulangbawang. Sampai pada beberapa abad kemudian, Tomé Pires (1512 – 1515), seorang Portugis, dalam catatannya tentang sejarah Banten menyebutkan, di Jawa Barat pernah berdiri suatu kerajaan yang disebut Kerajaan Sunda. Kerajaan ini memunyai beberapa pelabuhan dagang di sepanjang pantai utara dan menjalin kerja sama dagang rempah-rempah (lada) dengan Tulangbawang (Cortesão, 1967: 171). 

Kerajaan Sunda yang berlatarkan pada agama Hindu-Buddha, kemudian mengalami kemunduran dan digantikan Kesultanan Banten yang berdasarkan pada agama Islam. Pada periode ini, nama Tulangbawang kembali disinggung dalam catatan sejarah. Tapi, nama Tulangbawang tidak lagi dikaitkan dengan sebuah kerajaan, melainkan sebagai sebuah daerah penghasil lada dan rempah-rempah. Naskah Sejarah Banten memuat catatan, ketika Sultan Hasanuddin memimpin Kesultanan Banten, wilayah kekuasaannya hingga Lampung dan daerah Sumatra Selatan. Wilayah kekuasaan di Sumatra ini banyak menghasilkan lada yang sangat berperan dalam perdagangan di Banten, sehingga membuat Banten menjadi kota pelabuhan penting yang disinggahi kapal-kapal dagang dari China, India, bahkan Eropa. Keadaan seperti ini berlangsung dari pertengahan abad ke-16 hingga akhir abad ke-18 (Graaf dan Pigeaud, 1985: 151-156). 

Piagam Bojong menunjukkan bahwa tahun 1500—1800, Lampung dikuasai Kesultanan Banten. Setelah Sultan Ageng Tirtayasa ditaklukkan Belanda akibat pengkhianatan Sultan Haji, putra mahkota itu menyerahkan beberapa wilayah kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa kepada Belanda. Di dalamnya termasuk Lampung sebagai hadiah bagi Belanda karena membantu melawan Sultan Ageng Tirtayasa. Permintaan itu termuat dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat bertanggal 12 Maret 1682 itu isinya, “Saya minta tolong, nanti daerah Tirtayasa dan negeri-negeri yang menghasilkan lada seperti Lampung dan tanah-tanah lainnya sebagaimana diinginkan Mayor/ Kapten Moor, akan segera serahkan kepada kompeni.” Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung.

 Tapi, upaya menguasai pasar lada hitam Lampung kurang memperoleh sambutan baik. Pada 21 November 1682 VOC kembali ke pulau Jawa hanya membawa 744.188 ton lada hitam seharga 62.292,312 gulden. Sebab, ternyata Lampung yang dinilai sebagai koloni Kesultanan Banten, melakukan perlawanan kepada Belanda lewat tokohnya yang bernama Raden Intan, anak keturunan dari Keratuan Darah Putih di pesisir Selatan yang kini merupakan wilayah Kabupaten Lampung Selatan. 

Terputusnya sejarah tentang Kerajaan Tulangbawang, sementara masyarakat di kabupaten itu sangat yakin dengan keberadaan kerajaan itu di masa lalu, mendorong Balai Arkeologi Bandung mengadakan penelitian di Tulangbawang sejak 1998 hingga 2005. Namun, hasil penelitian eksploratif ini tidak menemukan adanya peninggalan fisik dari Kerajaan Tulangbawang.

Penelitian ini hanya berhasil mendata sejumlah situs pemukiman yang dibagi dalam empat kawasan: Way Kiri, Way Kanan, Way Tulangbawang, dan kawasan pedalaman. Selain itu ditemukan beberapa benda-benda kuno yang tersimpan pada masyarakat. Di kawasan Way Kiri terdapat situs Bumi Agung, dimana terdapat bekas pemukiman yang dibatasi dengan benteng tanah. Bangunan benteng berupa dua lajur gundukan tanah yang pada bagian tengahnya terdapat cekungan semacam parit. Gundukan tanah tersebut berdenah seperti huruf “U”. Tinggi gundukan yang terlihat sekarang bervariasi antara 0,5 – 1 m. Pada sisi selatan, gundukan tanah membujur dari tepi Way Kiri di sebelah timur ke arah timur kemudian membelok secara melengkung ke arah utara kemudian ke barat. Dengan demikian pada sisi timur gundukan tanah tersebut arahnya melengkung. 

Benteng sisi utara pada bagian selatan melengkung yang merupakan kelanjutan benteng sisi timur, kemudian lurus membujur ke barat dan berakhir di tepi Way Kiri. Di tepi dalam benteng sisi utara sebelah barat terdapat batu alam berwarna kemerahan. Menurut cerita rakyat batu tersebut merupakan tempat Minak Paduka (Abung Nunyai) dipenggal kepalanya oleh Setrupak Sumbai. 

Minak Paduka kemudian dimakamkan di Bumi Agung di sebelah selatan luar benteng. Di sebelah timur laut makam Minak Paduka atau di sebelah timur benteng terdapat makam Ratu Tulangbawang dan Umpuan Ratu Ali. Makam Ratu Tulangbawang sudah sulit dikenali. Masyarakat menandai makam tersebut dengan pohon beringin yang sekarang sudah besar. Dengan adanya pohon itu bentuk makam sudah tidak terlihat lagi.

Di sebelah utara makam Minak Paduka terdapat makam Umpuan Ratu Ali. Keadaan makam ditandai dengan kumpulan batu-batu andesitik. Keturunan Umpuan Ratu Ali sekarang merupakan penduduk Way Kanan. (Dr. Agus Aris Munandar, 2003: 97 – 110) Temuan Badan Arkeologi Bandung ini telah mengungkap fakta baru tentang keberadaan makam Ratu Tulangbawang. Dari keterangan sejumlah tokoh masyarakat di lokasi tersebut, Ratu Tulangbawang adalah pemimpin dalam Keratuan Tulangbawang. Keratuan merupakan sebuah sistem pemerintahan yang diatur oleh lingkungan masyarakat marga, dan garis kepempinan dalam keratuan berdasarkan garis keturunan laki-laki (patrilinear). 

Mereka yang dijadikan pemimpin merupakan pemimpin adat, yang terdiri dari banyak tingkatan sesuai dengan jumlah anggota keluarga pemimpin adat tersebut. Sistem keratuan sangat umum ditemukan dalam semua lingkungan masyarakat Lampung, baik yang beradat Pepadun maupun beradat Saibatin. Catatan sejarah yang menyebut tentang sistem keratuan ini melimpah, dimana Lampung pada awalnya terdiri dari banyak keratuan, yakni sejumlah masyarakat marga yang ada saat ini. 

Setiap keratuan memiliki tingkatan pemimpin adat yang diketuai seorang Pangikhan (Pangeran). Di Kota Bandar Lampung, yang merupakan ibu kota Provinsi Lampung, pernah berdiri Keratuan Balaw. Dari penggalian situs peninggalan Keratuan Balaw yang dilakukan Balai Arkeologi Bandung pada 2004, terungkap bahwa keratuan ini awalnya berdiri di pinggir Danau Ranau (sekarang berada dalam wilayah Kabupaten Lampung Barat), yang kemudian pindah ke Bandar Lampung setelah keratuan itu diserang oleh Kerajaan Melayu Islam, Kerajaan Pagaruyung. Dari berbagai foklor yang diyakini masyarakat Ratu Dibalaw, Keratuan Balaw merupakan keturunan dari Keratuan Seghomoung di kaki Gunung Pesagi, yang kemudian disebut Kerajaan Skala Bekhak. 

Keratuan Balaw memisahkan diri dari Keratuan Seghomuong dalam sebuah peristiwa adat, dimana keturunan keratuan yang sudah menikah akan diberi daerah baru untuk dikembangkan menjadi keratuan. Keratuan Balau memiliki saudara yang sama-sama meninggalkan Keratuan Seghomuong yang merantau menyusuri Way (sungai) Besai yang berhulu di kawasan Skala Bekhak dan membentuk keratuan sendiri. Di Liwa, berdiri Keratuan Swoh. 

Di Blambangan Umpu, di Jabung Keratuan Festival Megou Pak Kawasan objek wisata sejarah di Kabupaten Tulangbawang yang terdiri dari miniatur Kerajaan Tulangbawang dan miniatur berbagai rumah adat, dikemas pemerintah dalam sebuah paket wisata bertajuk Festival Megou Pak. Nama itu mengacu pada nama masyarakat adat Mego Pak (empat marga atau buat: Buay Bulan, Buay Suwai Umpu, Buay Tegamoan, dan Buay Aji). Dalam Festival Megou Pak yang berlangsung selalu pada bulan Maret setiap tahun, dan digelar di Kota Menggala, ibu kota Kabupaten Tulangbawang, berbagai warisan budaya dari Kerajaan Tulangbawang akan dicuplik. "Festival ini diangkat dari empat kebudayaan adat Pepadun Megou Pak yakni Buay Bulan, Buay Suwai Umpu, Buay Tegamoan, dan Buay Aji," kata Mance. 

 Keseriusan Pemerintah Kabupaten Tulangbawang menggali kekayaan dan potensi budaya ditandai dengan hadirnya Gedung Kesenian R.A. Kartini di depan Islamic Centre, Menggala. Di jalur lintas timur Sumatera itu, kini berdiri gedung megah yang merupakan satu-satunya gedung kesenian yang dibangun pemerintah kota/kabupaten di Lampung. Kehadiran gedung kesenian ini, sebagai upaya mengembalikan Menggala sebagai kota budaya. Menggala merupakan salah satu kota tua yang berkembang sejak Belanda. Ciri khas kehidupan tradisional, kesibukan sebagai kota pelabuhan sungai, pola permukiman, rumah tua, dan tata kehidupan asli masih terlihat. 

Bagi yang menyenangi budaya dan sejarah lama, kehidupan tradisional, dan kesibukan perdagangan tradisional, Menggala bisa jadi tujuan perjalanan. Kehidupan ini dapat dijumpai di Pasar Lama dan Pelabuhan Sungai Tulangbawang yang membelah Menggala. Sebagai salah satu kota tertua di Lampung, sejak dahulu seni dan budaya berkembang baik. Sebagian besar Wilayah Tulangbawang berupa daerah rawa pasang surut. Pada musim hujan, rawa ini menjelma menjadi danau yang menarik untuk objek wisata air. Apalagi Tulangbawang dilalui sungai terbesar di Lampung, yaitu Way Tulangbawang, yang menyimpan banyak potensi pariwisata berbasis air. Festival Megou Pak merupakan upaya pemerintah untuk kembali mengangkat harkat dan martabat masyarakat adat Tulangbawang melalui pentas budaya.


*** Disadur dari http://budiphatees.blogspot.com